CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Favorite Quotes

"Imagination is more important than knowledge:
knowledge is limited, imagination encircles the world." - Albert Einstein

Sabtu, 07 April 2012

Story #3


                Sudah 20 menit aku mencari ke semua tempat di kota ini yang aku tahu, tapi aku belum juga menemukan Ello. Aku mulai khawatir, bagaimana jika ia sudah pergi ke kota lain? Aku pun bersandar pada sebuah tiang listrik sambil mengatur napas di udara malam yang dingin. 
                Di tengah keputusasaanku, aku mendengar suara yang sangat merdu. Suara itu diiringi petikan gitar yang menyentuh hati. Lain dari sebelumnya, aku tidak lari menjauhi sumber suara. Aku tidak takut lagi mendengar suara musik. Aku perlahan mendekatinya, seperti ada sesuatu yang menarikku ke sana. Tapi bukan sesuatu yang gelap dan menakutkan, melainkan perasaan nyaman yang membuatku melayang.
                Ada seseorang yang sedang bermain gitar di seberang jalan. Aku tidak bisa melihat jelas wajahnya, tetapi aku spontan memanggil satu nama yang terlintas di kepalaku,
                “Ello?”
Permainan gitar itu terhenti. Orang yang tadi memunggungiku sekarang berbalik, menunjukkan ekspresi mukanya yang heran, senang, sekaligus cemas.
                “Nita? Apa yang sedang kau lakukan di sini?”
“Kau kira bisa kabur seenaknya?”
                “Kau…bagaimana kau menemukanku?” tanya Ello.
“Bodoh, kau sendiri yang menyuruhku merasakannya. Aku bisa menemukanmu karena mengikuti kunci K yang selalu kau mainkan.”
Ello tersenyum lebar, tetapi tiba-tiba berganti menjadi wajah khawatir.
                “Maafkan aku, Nit. Kematian Papamu, juga penyakitmu…semua gara-gara aku.”
“Kita tidak boleh menyalahkan siapapun atas kematian, Ello. Karena itu kehendak Sang Pencipta. Lagipula, Melophobia-ku sudah sembuh sekarang…”
                “Jadi…kau bisa mendengarkan musik lagi sekarang?”
Aku mengangguk girang, membayangkan betapa rindunya aku memakai headphone sambil mendengarkan lagu berirama beat kesukaanku. Aku juga bisa mendengarkan permainan gitar yang indah dari Ello.
                “Tapi, jangan lupakan kunci K, janji?” Ello tersenyum.
“Tak akan lupa.” Aku berjanji. “Mulai sekarang kuganti namanya menjadi kunci K.”
                “Lalu, apa bedanya dengan nama sebelumnya?”
“ ‘K’ dari kata ‘Kita’…” 


SELESAI

Sabtu, 31 Maret 2012

Creazyvity

Hello all, it's me again B) and it's H-22 UAN *sebisa mungkin senyum tulus tanpa unsur paksaan*
...
Oke mulai aja ya post-nya...

Jadi ceritanya nih, berkat guru seni budaya di sekolahku tercinta, buat ngambil nilai ujian praktek senbud, kita-kita ini ditugasin nge-cat sebuah kerajinan dari tanah liat (aku enggak tau pasti itu benda apa, jadi) sebut aja pot tanaman yang cukup gede. Dan kita dikasih waktu kira-kira satu bulan buat nyelesaiin tugas itu

Sesuai kelompok yang udah diundi sebelumnya, aku megan eda dea mulai garap sejak dapetin pot itu buat pertama kalinya, yah gimana ya, secaraa... *benerin kerah* =))

Tapiii masalah pertama muncul waktu si dea asma nya kambuh gara-gara kena bau cat minyak, jadi dia enggak bisa ikut nge-cat...
3 orang yang tersisa pun melanjutkan perjuangan....

#np Ebiet G. Ade - Berita Pada Kawan

Perjalanan ini ... terasa sangat menyedihkan
Sayang engkau tak duduk di sampingku
Kawan ... 

 
Oke cukup.
Masalah kedua dan yang terparah, kelompok kita tuh susaaaah banget buat dapet ide T_T terbukti dari tema pertama yang udah kita tentuin sama hasil pot nya itu b-e-d-a jauh

enggak tau karena emang saking kreatifnya kita jadi idenya kebanyakan, atau emang uang seribu kucel-entah milik siapa-yang tiba-tiba aja ada di dalem pot itu belom cukup ampuh buat dijadiin jimat buat cari wangsit.....
Aku sih milih alesan yang pertama

The good news was, waktu udah 60% nggarap, si dea akhirnya join lagi ke kelompok kita...

#np Ebiet G. Ade - Berita Pada Kawan


Banyak cerita 
yang mestinya kau saksikan ...
Di tanah kering bebatuan ...



So, singkatnya, dengan penuh perjuangan, segala macam problematika, beribu-ribu pengorbanan dan airmata

kita berhasil nyelesaiin pot nya :')

momennya mengharukan banget, lebih mengharukan daripada kenaikan harga BBM yang diundur 6 bulan :')


Sekian post kali ini, enjoy the pictures below ;) 
See you!

Ini dia hasilnyaaa :D


 princess mermaid nya unyuuu kan :3

 kalo yang di bawah ini namaku lagi ngeksis




 megan, eda, me
(ada irfan sama adel juga di belakangnya)

Kamis, 29 Maret 2012

STORY #2


“Aku Ello,”
Aku tetap diam sambil menatapnya, tidak mendengar ucapannya barusan.
                “Lepaskan benda itu,” ujarnya sambil menunjuk telingaku. “Aku janji tak akan memainkan gitar.”
“Maaf,” kataku sambil melepas alat di telingaku. “Kalau sedang di luar rumah, alat ini wajib kupakai.”
                “Hey, kita hanya berjarak satu meter dari pintu,” Ello menahan tawa.
“Itu tidak lucu buatku,” kataku tajam, membuat wajah Ello seketika terlihat bersalah. “Aku tidak tahu berapa perbandingan orang yang punya penyakit seperti ini. Tapi percayalah, kau tidak akan mau menjadi salah satunya.”
                “Tetapi kau tidak membenci musik, kan?” tanya Ello bersimpati.
“Bagaimana aku bisa menyukai musik jika mendengarnya saja sudah takut?” tanyaku sambil tersenyum kecut.
Kami terdiam, saling memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaanku.
                “Kalau begitu, aku akan membuat nada yang bisa didengar olehmu tanpa takut,” kata Ello.
“Hah? Bagaimana caranya?”
                “Begini, kunci gitar ada banyak. Umumnya, kita menyebutnya kunci A sampai G.”
Aku jadi teringat ketika Papa mengajarkanku cara bermain piano untuk pertama kalinya. Tidak ada paksaan sedikitpun, bahkan dari Papa yang seorang maestro piano. Kata Papa, musik tak akan ada artinya apabila tidak dimainkan dengan perasaan yang tulus.
                “Ya…aku benar-benar ingat,” ujarku.
“ Kalau kau tidak suka mendengar kunci yang biasa, kau pasti akan menyukai kunci ini.”
Aku menunggu beberapa saat, tetapi Ello sama sekali tidak menempatkan jari-jarinya pada senar gitar. Benda itu malah tergeletak di sampingnya. Ia hanya terdiam sambil menatapku. Sikapnya itu membuatku menaikkan alis.
                “Mana suaranya?” tanyaku heran.
“Ini bukan untuk didengar, tapi dirasakan di sini.” Ia meletakkan kedua tangannya di dada, menunjuk ke hati. ”Kuberi nama kunci K.”
                “Kunci K? Kok bisa kunci K?”
“ ‘K’ dari kata ‘Kamu’...”

***

                Esok harinya aku menemui Ello lagi di teras rumah. Kami mengobrol sangat lama, sampai tidak terasa pagi sudah berganti siang, siang beranjak sore, sore pergi, dan petang pun menjelang. Lalu saat kami sedang asyik membicarakan gitar, Mama pulang dari kantor.
                “Hai, Nit…” sapa Mama.
“Selamat datang, Ma. Oh iya, ini Ello, teman yang kuceritakan kemarin.” Aku mengajak Mama dan Ello berkenalan.
Tapi bukannya mengulurkan tangan, Mama malah memandang Ello dengan dahi mengrenyit. Ia seperti sedang mengingat-ingat sesuatu. Ello juga hanya diam sambil memandang ke bawah, padahal biasanya ia yang memulai percakapan.
                “Ini siapa, kamu bilang?” tanya Mama.
“Ello Ma, temanku…”
                “Maaf Nit, aku harus pergi sekarang,” tukas Ello.
“Kok buru-buru? Kamu belum kenalan sama…”
                “Permisi,” Ello mengambil gitarnya lalu pergi meninggalkan tanda tanya.
Aku ingin bertanya apa yang terjadi di antara Mama dan Ello, tetapi kurasa ini bukan saat yang tepat. Aku memutuskan untuk menyimpan pertanyaan itu. Toh, besok aku akan bertemu Ello lagi.

***

                 Tapi ternyata setelah makan malam, Mama mengajakku bicara. Ia bilang ini hal penting, dan berharap aku bisa bicara serius.
                “Nita, kau masih ingat kejadian itu kan? Kejadian yang menyebabkan penyakitmu?”
Aku memang mengangguk agak ragu, tetapi kisah itu masih tersimpan jelas dalam memori otakku.
                 Papa meninggal saat mengadakan konser di sebuah gedung, tiga tahun yang lalu. Waktu itu ia menjadi pianis di sebuah kelompok musik, dan konser itu merupakan impiannya sejak dulu. Tetapi saat konser baru saja dimulai, lampu panggung yang kabelnya sudah aus tiba-tiba terjatuh. Papa yang menyadarinya langsung melindungi seorang pemain gitar yang berada tepat di bawah lampu tersebut.
                Aku yang melihat kejadian itu menyaksikan detik-detik saat lampu itu jatuh bebas dan mengenai Papa. Badan Papa lalu jatuh menimpa tuts-tuts piano, sehingga menciptakan kombinasi nada minor yang menusuk telinga. Bersamaan dengan bunyi alat musik yang menjadi tidak beraturan karena para pemainnya panik, aku jatuh pingsan.
                “Yang ada di pikiranku selama pingsan hanyalah kematian Papa, dan iringan musik yang terdengar sangat mengerikan… Itu yang menyebabkan aku sudah menderita Melophobia.”
“Ya, dan pemain gitar itu selamat, Nita. Ia bahkan mengunjungi rumah kita setelah kasus itu,” kata Mama.
                “Apa? Aku tidak tahu bagian itu,” kataku terkejut.
“Wajar saja, karena saat itu kau masih koma. Waktu berkunjung, ia mengatakan bahwa semua ini salahnya, dan sebagai tebusannya ia tak akan muncul di dunia musik lagi.”
                “…lalu, apa yang sebenarnya ingin Mama sampaikan?”
Mama menggeser kursinya agar lebih dekat denganku. Ia menegakkan posisi duduknya, lalu berkata,
                “Temanmu, Ello… Dia adalah pemain gitar itu...”
“ Haha, maaf Ma… Tapi kalau masih menganggap ini lelucon, Mama sudah keterlaluan.”
                “Mama serius,” kata Mama meyakinkanku. “Mama masih ingat betul wajahnya.”
“…Jadi maksud Mama, dia sengaja datang ke sini?”
                “Mungkin ia ingin menyembuhkan penyakitmu. Tetapi setelah ia bertemu dengan Mama tadi, Mama tidak yakin ia akan kembali lagi ke sini…”
Aku tercekat. Ello tidak akan kembali lagi? Bagaimana mungkin aku membiarkannya pergi begitu saja?
                 Aku bangkit, lalu mengambil jaket putih kesayanganku di gantungan dekat pintu.
                “Kamu mau ke mana, Nit?” Mama mencengkram lenganku.
“Mencari Ello,” kataku sambil buru-buru memakai jaket.
                “Untuk apa? Kau tidak mungkin memakai alat anti bunyi ke luar, nanti bisa-bisa tertabrak mobil. Lalu kalau kau tidak memakainya, bagaimana dengan penyakitmu…”
                “Papa bilang sendiri, kalau musik adalah separuh jiwanya. Papa sekarang sudah meninggal, artinya jiwanya sudah pergi ke alam sana. Jadi kalau kita meninggalkan musik juga, berarti kita benar-benar akan kehilangan Papa, kan?”
Mama tertegun melihat putri semata wayangnya yang sekarang berdiri di hadapannya. Aku tersenyum kepadanya, meminta izin untuk pergi mengejar harta milikku yang paling berharga. Mama mengangguk, dan seketika itu aku langsung berlari keluar rumah. 

***

...................................bersambung......................................

Minggu, 22 Januari 2012

SAKURA - MONKEY MAJIK

Pas buka blog ini, langsung bisa denger lagunya kan? 
Ya, it's Sakura by Monkey Majik.  

This is one of my favorite songs :) which I've played over and over again, without getting bored of it...

Lirik sebenernya pake bahasa jepang, tapi biar lebih gampang ku post terjemahannya aja, check this out~



We are nearly grown up now
and time is getting short
Even though things greatly changed around us
we didn't want to change ourselves
Will this feeling last forever?
Can our uncertainty be wiped away?
Will dreams of tomorrow definitely come true?
The days are running by

Petals softly, softly begin to
flutter like they're dancing
It is definitely a new season
You must not forget the tears -
now they're just faint memories
underneath the cherry trees

In this moment, we can't go back again
but there's something I tried to feel
Longing for a day of freedom
together with a friend I could love
Lost and worried, while wandering around
something sparkled

Goodbye softly, softly holding memories
in my heart until the day we will
certainly meet again
Chasing dreams in the same sky
now they're just a whisper

A future bright and it feels right
I can't describe it fully
Look up, look up there's not a cloud
in the clear blue sky
Tears can't overflow more than this

Petals softly, softly begin to
flutter like they're dancing
It is definitely a new season
You must not forget the tears -
now they're just faint memories

Goodbye softly, softly holding memories
in my heart until the day we will
certainly meet again
Chasing dreams in the same sky
now they're just a whisper
underneath the cherry trees

source: here

dari lirik di atas, kita bisa kira-kira sendiri cerita di lagu ini...

lagu ini bercerita tentang seseorang yang menatap masa depan, meskipun dia sedikit khawatir kalau masa depan itu akan menghapus kenangan indahnya, sementara dia nggak bisa menemukan kenangan itu buat yang kedua kalinya. 

Jadi, dia ngeyakinin diri sendiri, kalau...yah, masa lalu itu pasti akan terlewati, tapi itu bukan berarti dia harus ngelupain hal-hal berharga yang ada di sana. Seperti janji-janji mengejar mimpi bersama,. janji yang pernah dibuatnya bersama seseorang,
janji di bawah pohon sakura...

STORY #1


"K"

Aku berhenti di suatu persimpangan...

...di tempat yang menurutku terlihat seperti Paris, indah. Lantainya dilapisi konblok-konblok persegi panjang berwarna krem. Bangunan tua yang artistik di sekitarnya juga berwarna serupa. Kulihat banyak orang duduk di sebuah café mungil, sedang menikmati secangkir kopi panas dan croissant.
                Tiba-tiba muncul suatu perasaan cemas yang sudah sangat familiar. Aku melihat dua orang pemusik jalanan memainkan biola mereka. Orang-orang terlihat menikmatinya, tetapi aku tidak. Aku langsung menutup telingaku dengan kedua tangan, lalu berlari kencang, berusaha menjauhi sumber bunyi itu. Tetapi semakin lama bunyi biola itu semakin keras, ia berubah menjadi kegelapan misterius yang berusaha menangkapku dengan jari-jarinya. Ia berhasil mencengkram kakiku lalu mencoba menyeretku. Aku berusaha bertahan dengan mencakar lantai. Tetapi akhirnya aku tidak kuat lagi sehingga peganganku lepas. Rasanya seperti jatuh dari tempat tinggi, berpasrah diri ditarik gravitasi. Langit menjadi sangat gelap, aku masih tak tahu apa yang menyeretku dan hanya bisa berteriak,
                “Aaaaaaaaaaaaaaa!!”
Lalu aku terbangun.
Dengan napas terengah-engah dan mata berair, aku buru-buru menarik selimutku sampai leher.
                “Mimpi buruk lagi ya, Sayang?” tanya Mama cemas sambil mengelus kepalaku.
“Mu, musik….” Jawabku tak berdaya. “Biola…”
                “Iya Mama mengerti. Tenang saja, itu hanya mimpi.”
Aku mengangguk pelan. Mama menghela napas lalu memberiku segelas air. Mama sudah terbiasa dengan kondisiku yang seperti ini.
                Aku sudah tiga tahun menderita Melophobia. Itu adalah suatu penyakit yang membuatku memiliki perasaan takut terhadap suara dari alat musik seperti piano, biola, dan lain-lain.
                “Mama pergi dulu ya, Nita. Jaga diri.” Kata Mama sambil menutup pintu kamar.
Hufft, saat seperti ini sangat membosankan. Setiap hari aku harus berdiam diri di kamar sampai Mama pulang kerja. Tidak boleh jalan-jalan atau menonton televisi, karena pasti banyak suara alat musik yang terdengar di jalanan dan di acara televisi. Handphoneku juga disetel dalam mode silent, tanpa game dan tentu saja tak ada satupun lagu di dalamnya. Aku memutuskan untuk kembali tidur, lebih baik menghadapi mimpi buruk dibanding dunia nyata yang menyiksaku pelan-pelan.
                Baru beberapa menit terlelap, aku tersentak. Barusan aku mendengar suara petikan gitar. Dengan cekatan aku mengambil sebuah alat dan memasangkannya di telingaku. Alat itu berfungsi agar aku tidak bisa mendengar suara di sekitarku. Aku menengok dari jendela, melihat seorang pemuda bermain gitar di depan rumah.
                Aku turun ke lantai satu untuk memberikan receh ke pemuda itu. Tetapi saat aku sudah sampai di depan pintu, aku mematung. Gerakan tangan pemuda itu, dan mulutnya yang melantunkan senandung merdu—yang meskipun aku tidak dapat mendengarnya, tapi terlihat—begitu indah. Lamunanku terhenti saat pemuda itu menatapku heran. Aku malu dan langsung menyodorkan dua koin lima ratusan kepadanya. Saat aku berniat kembali masuk ke rumah, ia menepuk pundakku pelan. Melihat pemuda itu tidak lagi bermain musik, aku mencopot alat di telingaku.
                “Suka gitar?” tanyanya.
“Ya, tapi aku tidak suka suaranya,” jawabku.
                “Mengapa?”
Ia  mulai memetik gitar, mungkin maksudnya ingin menunjukkan padaku betapa merdu suara gitarnya. Tapi karena penyakitku, seketika napasku sesak dan membuatku kehilangan keseimbangan. Aku pun terjatuh ke lantai. Pemuda itu terkejut dan bingung melihatku yang tiba-tiba jatuh.   
                “Ku, kumohon pergi…” kataku sambil mencoba berdiri.
“Hei! Memang ada yang salah?”               
                Brak!
 Aku membanting pintu tepat di depan wajahnya. Aku berjongkok membelakangi pintu, sambil mengingat betapa kasar perlakuanku barusan kepadanya. Sebagai remaja umur 16 tahun, tidak mungkin aku bersosialisasi dengan teman sebaya jika keadaanku seperti ini. Musik adalah pujaan kaum muda. Aku bisa membayangkan teman-teman menatapku jijik kalau mengetahui penyakit langka yang kuderita.
                “Aku tahu ada yang tidak beres. Tapi kurasa kau tidak mungkin membenci gitar.” Katanya dari balik pintu, memecah pikiranku.
Aku tak kunjung menjawab, sehingga membuat suasana menjadi sunyi dan canggung.
                “Aku pasti datang lagi besok. Jadi… sampai ketemu.”
Aku menggenggam erat alat anti bunyi milikku lalu memejamkan mata. Aku memberanikan diri untuk membuka pintu. Aku berkata pelan,
                “Terima kasih…”
Pemuda itu tersenyum, meninggalkan rasa tidak sabar untuk menemuinya lagi esok hari.

...................................bersambung......................................