“Aku Ello,”
Aku tetap diam sambil menatapnya, tidak mendengar ucapannya
barusan.
“Lepaskan
benda itu,” ujarnya sambil menunjuk telingaku. “Aku janji tak akan memainkan
gitar.”
“Maaf,” kataku sambil melepas alat di telingaku. “Kalau
sedang di luar rumah, alat ini wajib kupakai.”
“Hey, kita
hanya berjarak satu meter dari pintu,” Ello menahan tawa.
“Itu tidak lucu buatku,” kataku tajam, membuat wajah Ello
seketika terlihat bersalah. “Aku tidak tahu berapa perbandingan orang yang punya
penyakit seperti ini. Tapi percayalah, kau tidak akan mau menjadi salah
satunya.”
“Tetapi
kau tidak membenci musik, kan?” tanya Ello bersimpati.
“Bagaimana aku bisa menyukai musik jika mendengarnya saja
sudah takut?” tanyaku sambil tersenyum kecut.
Kami terdiam, saling memikirkan jawaban yang tepat untuk
pertanyaanku.
“Kalau
begitu, aku akan membuat nada yang bisa didengar olehmu tanpa takut,” kata
Ello.
“Hah? Bagaimana caranya?”
“Begini,
kunci gitar ada banyak. Umumnya, kita menyebutnya kunci A sampai G.”
Aku jadi teringat ketika Papa mengajarkanku cara bermain
piano untuk pertama kalinya. Tidak ada paksaan sedikitpun, bahkan dari Papa
yang seorang maestro piano. Kata Papa, musik tak akan ada artinya apabila tidak
dimainkan dengan perasaan yang tulus.
“Ya…aku
benar-benar ingat,” ujarku.
“ Kalau kau tidak suka mendengar kunci yang biasa, kau pasti
akan menyukai kunci ini.”
Aku menunggu beberapa saat, tetapi Ello sama sekali tidak
menempatkan jari-jarinya pada senar gitar. Benda itu malah tergeletak di
sampingnya. Ia hanya terdiam sambil menatapku. Sikapnya itu membuatku menaikkan
alis.
“Mana
suaranya?” tanyaku heran.
“Ini bukan untuk didengar, tapi dirasakan di sini.” Ia
meletakkan kedua tangannya di dada, menunjuk ke hati. ”Kuberi nama kunci K.”
“Kunci
K? Kok bisa kunci K?”
“ ‘K’ dari kata ‘Kamu’...”
***
Esok
harinya aku menemui Ello lagi di teras rumah. Kami mengobrol sangat lama,
sampai tidak terasa pagi sudah berganti siang, siang beranjak sore, sore pergi,
dan petang pun menjelang. Lalu saat kami sedang asyik membicarakan gitar, Mama
pulang dari kantor.
“Hai,
Nit…” sapa Mama.
“Selamat datang, Ma. Oh iya, ini Ello, teman yang
kuceritakan kemarin.” Aku mengajak Mama dan Ello berkenalan.
Tapi bukannya mengulurkan tangan, Mama malah memandang Ello
dengan dahi mengrenyit. Ia seperti sedang mengingat-ingat sesuatu. Ello juga
hanya diam sambil memandang ke bawah, padahal biasanya ia yang memulai
percakapan.
“Ini
siapa, kamu bilang?” tanya Mama.
“Ello Ma, temanku…”
“Maaf
Nit, aku harus pergi sekarang,” tukas Ello.
“Kok buru-buru? Kamu belum kenalan sama…”
“Permisi,”
Ello mengambil gitarnya lalu pergi meninggalkan tanda tanya.
Aku ingin bertanya apa yang terjadi di antara Mama dan Ello,
tetapi kurasa ini bukan saat yang tepat. Aku memutuskan untuk menyimpan
pertanyaan itu. Toh, besok aku akan bertemu Ello lagi.
***
Tapi ternyata setelah makan malam, Mama
mengajakku bicara. Ia bilang ini hal penting, dan berharap aku bisa bicara serius.
“Nita, kau
masih ingat kejadian itu kan? Kejadian yang menyebabkan penyakitmu?”
Aku memang mengangguk agak ragu, tetapi kisah itu masih
tersimpan jelas dalam memori otakku.
Papa meninggal saat mengadakan konser di
sebuah gedung, tiga tahun yang lalu. Waktu itu ia menjadi pianis di sebuah
kelompok musik, dan konser itu merupakan impiannya sejak dulu. Tetapi saat konser
baru saja dimulai, lampu panggung yang kabelnya sudah aus tiba-tiba terjatuh. Papa
yang menyadarinya langsung melindungi seorang pemain gitar yang berada tepat di
bawah lampu tersebut.
Aku
yang melihat kejadian itu menyaksikan detik-detik saat lampu itu jatuh bebas
dan mengenai Papa. Badan Papa lalu jatuh menimpa tuts-tuts piano, sehingga
menciptakan kombinasi nada minor yang menusuk telinga. Bersamaan dengan bunyi
alat musik yang menjadi tidak beraturan karena para pemainnya panik, aku jatuh
pingsan.
“Yang ada
di pikiranku selama pingsan hanyalah kematian Papa, dan iringan musik yang
terdengar sangat mengerikan… Itu yang menyebabkan aku sudah menderita Melophobia.”
“Ya, dan pemain gitar itu selamat, Nita. Ia bahkan mengunjungi
rumah kita setelah kasus itu,” kata Mama.
“Apa? Aku
tidak tahu bagian itu,” kataku terkejut.
“Wajar saja, karena saat itu kau masih koma. Waktu
berkunjung, ia mengatakan bahwa semua ini salahnya, dan sebagai tebusannya ia
tak akan muncul di dunia musik lagi.”
“…lalu,
apa yang sebenarnya ingin Mama sampaikan?”
Mama menggeser kursinya agar lebih dekat denganku. Ia
menegakkan posisi duduknya, lalu berkata,
“Temanmu,
Ello… Dia adalah pemain gitar itu...”
“ Haha, maaf Ma… Tapi kalau masih menganggap ini lelucon,
Mama sudah keterlaluan.”
“Mama
serius,” kata Mama meyakinkanku. “Mama masih ingat betul wajahnya.”
“…Jadi maksud Mama, dia sengaja datang ke sini?”
“Mungkin
ia ingin menyembuhkan penyakitmu. Tetapi setelah ia bertemu dengan Mama tadi,
Mama tidak yakin ia akan kembali lagi ke sini…”
Aku tercekat. Ello tidak akan kembali lagi? Bagaimana
mungkin aku membiarkannya pergi begitu saja?
Aku bangkit, lalu mengambil jaket putih
kesayanganku di gantungan dekat pintu.
“Kamu mau
ke mana, Nit?” Mama mencengkram lenganku.
“Mencari Ello,” kataku sambil buru-buru memakai jaket.
“Untuk
apa? Kau tidak mungkin memakai alat anti bunyi ke luar, nanti bisa-bisa
tertabrak mobil. Lalu kalau kau tidak memakainya, bagaimana dengan penyakitmu…”
“Papa
bilang sendiri, kalau musik adalah separuh jiwanya. Papa sekarang sudah
meninggal, artinya jiwanya sudah pergi ke alam sana. Jadi kalau kita
meninggalkan musik juga, berarti kita benar-benar akan kehilangan Papa, kan?”
Mama tertegun melihat putri semata wayangnya yang sekarang
berdiri di hadapannya. Aku tersenyum kepadanya, meminta izin untuk pergi
mengejar harta milikku yang paling berharga. Mama mengangguk, dan seketika itu
aku langsung berlari keluar rumah.
***
...................................bersambung......................................