CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Favorite Quotes

"Imagination is more important than knowledge:
knowledge is limited, imagination encircles the world." - Albert Einstein

Kamis, 29 Maret 2012

STORY #2


“Aku Ello,”
Aku tetap diam sambil menatapnya, tidak mendengar ucapannya barusan.
                “Lepaskan benda itu,” ujarnya sambil menunjuk telingaku. “Aku janji tak akan memainkan gitar.”
“Maaf,” kataku sambil melepas alat di telingaku. “Kalau sedang di luar rumah, alat ini wajib kupakai.”
                “Hey, kita hanya berjarak satu meter dari pintu,” Ello menahan tawa.
“Itu tidak lucu buatku,” kataku tajam, membuat wajah Ello seketika terlihat bersalah. “Aku tidak tahu berapa perbandingan orang yang punya penyakit seperti ini. Tapi percayalah, kau tidak akan mau menjadi salah satunya.”
                “Tetapi kau tidak membenci musik, kan?” tanya Ello bersimpati.
“Bagaimana aku bisa menyukai musik jika mendengarnya saja sudah takut?” tanyaku sambil tersenyum kecut.
Kami terdiam, saling memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaanku.
                “Kalau begitu, aku akan membuat nada yang bisa didengar olehmu tanpa takut,” kata Ello.
“Hah? Bagaimana caranya?”
                “Begini, kunci gitar ada banyak. Umumnya, kita menyebutnya kunci A sampai G.”
Aku jadi teringat ketika Papa mengajarkanku cara bermain piano untuk pertama kalinya. Tidak ada paksaan sedikitpun, bahkan dari Papa yang seorang maestro piano. Kata Papa, musik tak akan ada artinya apabila tidak dimainkan dengan perasaan yang tulus.
                “Ya…aku benar-benar ingat,” ujarku.
“ Kalau kau tidak suka mendengar kunci yang biasa, kau pasti akan menyukai kunci ini.”
Aku menunggu beberapa saat, tetapi Ello sama sekali tidak menempatkan jari-jarinya pada senar gitar. Benda itu malah tergeletak di sampingnya. Ia hanya terdiam sambil menatapku. Sikapnya itu membuatku menaikkan alis.
                “Mana suaranya?” tanyaku heran.
“Ini bukan untuk didengar, tapi dirasakan di sini.” Ia meletakkan kedua tangannya di dada, menunjuk ke hati. ”Kuberi nama kunci K.”
                “Kunci K? Kok bisa kunci K?”
“ ‘K’ dari kata ‘Kamu’...”

***

                Esok harinya aku menemui Ello lagi di teras rumah. Kami mengobrol sangat lama, sampai tidak terasa pagi sudah berganti siang, siang beranjak sore, sore pergi, dan petang pun menjelang. Lalu saat kami sedang asyik membicarakan gitar, Mama pulang dari kantor.
                “Hai, Nit…” sapa Mama.
“Selamat datang, Ma. Oh iya, ini Ello, teman yang kuceritakan kemarin.” Aku mengajak Mama dan Ello berkenalan.
Tapi bukannya mengulurkan tangan, Mama malah memandang Ello dengan dahi mengrenyit. Ia seperti sedang mengingat-ingat sesuatu. Ello juga hanya diam sambil memandang ke bawah, padahal biasanya ia yang memulai percakapan.
                “Ini siapa, kamu bilang?” tanya Mama.
“Ello Ma, temanku…”
                “Maaf Nit, aku harus pergi sekarang,” tukas Ello.
“Kok buru-buru? Kamu belum kenalan sama…”
                “Permisi,” Ello mengambil gitarnya lalu pergi meninggalkan tanda tanya.
Aku ingin bertanya apa yang terjadi di antara Mama dan Ello, tetapi kurasa ini bukan saat yang tepat. Aku memutuskan untuk menyimpan pertanyaan itu. Toh, besok aku akan bertemu Ello lagi.

***

                 Tapi ternyata setelah makan malam, Mama mengajakku bicara. Ia bilang ini hal penting, dan berharap aku bisa bicara serius.
                “Nita, kau masih ingat kejadian itu kan? Kejadian yang menyebabkan penyakitmu?”
Aku memang mengangguk agak ragu, tetapi kisah itu masih tersimpan jelas dalam memori otakku.
                 Papa meninggal saat mengadakan konser di sebuah gedung, tiga tahun yang lalu. Waktu itu ia menjadi pianis di sebuah kelompok musik, dan konser itu merupakan impiannya sejak dulu. Tetapi saat konser baru saja dimulai, lampu panggung yang kabelnya sudah aus tiba-tiba terjatuh. Papa yang menyadarinya langsung melindungi seorang pemain gitar yang berada tepat di bawah lampu tersebut.
                Aku yang melihat kejadian itu menyaksikan detik-detik saat lampu itu jatuh bebas dan mengenai Papa. Badan Papa lalu jatuh menimpa tuts-tuts piano, sehingga menciptakan kombinasi nada minor yang menusuk telinga. Bersamaan dengan bunyi alat musik yang menjadi tidak beraturan karena para pemainnya panik, aku jatuh pingsan.
                “Yang ada di pikiranku selama pingsan hanyalah kematian Papa, dan iringan musik yang terdengar sangat mengerikan… Itu yang menyebabkan aku sudah menderita Melophobia.”
“Ya, dan pemain gitar itu selamat, Nita. Ia bahkan mengunjungi rumah kita setelah kasus itu,” kata Mama.
                “Apa? Aku tidak tahu bagian itu,” kataku terkejut.
“Wajar saja, karena saat itu kau masih koma. Waktu berkunjung, ia mengatakan bahwa semua ini salahnya, dan sebagai tebusannya ia tak akan muncul di dunia musik lagi.”
                “…lalu, apa yang sebenarnya ingin Mama sampaikan?”
Mama menggeser kursinya agar lebih dekat denganku. Ia menegakkan posisi duduknya, lalu berkata,
                “Temanmu, Ello… Dia adalah pemain gitar itu...”
“ Haha, maaf Ma… Tapi kalau masih menganggap ini lelucon, Mama sudah keterlaluan.”
                “Mama serius,” kata Mama meyakinkanku. “Mama masih ingat betul wajahnya.”
“…Jadi maksud Mama, dia sengaja datang ke sini?”
                “Mungkin ia ingin menyembuhkan penyakitmu. Tetapi setelah ia bertemu dengan Mama tadi, Mama tidak yakin ia akan kembali lagi ke sini…”
Aku tercekat. Ello tidak akan kembali lagi? Bagaimana mungkin aku membiarkannya pergi begitu saja?
                 Aku bangkit, lalu mengambil jaket putih kesayanganku di gantungan dekat pintu.
                “Kamu mau ke mana, Nit?” Mama mencengkram lenganku.
“Mencari Ello,” kataku sambil buru-buru memakai jaket.
                “Untuk apa? Kau tidak mungkin memakai alat anti bunyi ke luar, nanti bisa-bisa tertabrak mobil. Lalu kalau kau tidak memakainya, bagaimana dengan penyakitmu…”
                “Papa bilang sendiri, kalau musik adalah separuh jiwanya. Papa sekarang sudah meninggal, artinya jiwanya sudah pergi ke alam sana. Jadi kalau kita meninggalkan musik juga, berarti kita benar-benar akan kehilangan Papa, kan?”
Mama tertegun melihat putri semata wayangnya yang sekarang berdiri di hadapannya. Aku tersenyum kepadanya, meminta izin untuk pergi mengejar harta milikku yang paling berharga. Mama mengangguk, dan seketika itu aku langsung berlari keluar rumah. 

***

...................................bersambung......................................

Tidak ada komentar:

Posting Komentar