CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Favorite Quotes

"Imagination is more important than knowledge:
knowledge is limited, imagination encircles the world." - Albert Einstein

Minggu, 22 Januari 2012

STORY #1


"K"

Aku berhenti di suatu persimpangan...

...di tempat yang menurutku terlihat seperti Paris, indah. Lantainya dilapisi konblok-konblok persegi panjang berwarna krem. Bangunan tua yang artistik di sekitarnya juga berwarna serupa. Kulihat banyak orang duduk di sebuah café mungil, sedang menikmati secangkir kopi panas dan croissant.
                Tiba-tiba muncul suatu perasaan cemas yang sudah sangat familiar. Aku melihat dua orang pemusik jalanan memainkan biola mereka. Orang-orang terlihat menikmatinya, tetapi aku tidak. Aku langsung menutup telingaku dengan kedua tangan, lalu berlari kencang, berusaha menjauhi sumber bunyi itu. Tetapi semakin lama bunyi biola itu semakin keras, ia berubah menjadi kegelapan misterius yang berusaha menangkapku dengan jari-jarinya. Ia berhasil mencengkram kakiku lalu mencoba menyeretku. Aku berusaha bertahan dengan mencakar lantai. Tetapi akhirnya aku tidak kuat lagi sehingga peganganku lepas. Rasanya seperti jatuh dari tempat tinggi, berpasrah diri ditarik gravitasi. Langit menjadi sangat gelap, aku masih tak tahu apa yang menyeretku dan hanya bisa berteriak,
                “Aaaaaaaaaaaaaaa!!”
Lalu aku terbangun.
Dengan napas terengah-engah dan mata berair, aku buru-buru menarik selimutku sampai leher.
                “Mimpi buruk lagi ya, Sayang?” tanya Mama cemas sambil mengelus kepalaku.
“Mu, musik….” Jawabku tak berdaya. “Biola…”
                “Iya Mama mengerti. Tenang saja, itu hanya mimpi.”
Aku mengangguk pelan. Mama menghela napas lalu memberiku segelas air. Mama sudah terbiasa dengan kondisiku yang seperti ini.
                Aku sudah tiga tahun menderita Melophobia. Itu adalah suatu penyakit yang membuatku memiliki perasaan takut terhadap suara dari alat musik seperti piano, biola, dan lain-lain.
                “Mama pergi dulu ya, Nita. Jaga diri.” Kata Mama sambil menutup pintu kamar.
Hufft, saat seperti ini sangat membosankan. Setiap hari aku harus berdiam diri di kamar sampai Mama pulang kerja. Tidak boleh jalan-jalan atau menonton televisi, karena pasti banyak suara alat musik yang terdengar di jalanan dan di acara televisi. Handphoneku juga disetel dalam mode silent, tanpa game dan tentu saja tak ada satupun lagu di dalamnya. Aku memutuskan untuk kembali tidur, lebih baik menghadapi mimpi buruk dibanding dunia nyata yang menyiksaku pelan-pelan.
                Baru beberapa menit terlelap, aku tersentak. Barusan aku mendengar suara petikan gitar. Dengan cekatan aku mengambil sebuah alat dan memasangkannya di telingaku. Alat itu berfungsi agar aku tidak bisa mendengar suara di sekitarku. Aku menengok dari jendela, melihat seorang pemuda bermain gitar di depan rumah.
                Aku turun ke lantai satu untuk memberikan receh ke pemuda itu. Tetapi saat aku sudah sampai di depan pintu, aku mematung. Gerakan tangan pemuda itu, dan mulutnya yang melantunkan senandung merdu—yang meskipun aku tidak dapat mendengarnya, tapi terlihat—begitu indah. Lamunanku terhenti saat pemuda itu menatapku heran. Aku malu dan langsung menyodorkan dua koin lima ratusan kepadanya. Saat aku berniat kembali masuk ke rumah, ia menepuk pundakku pelan. Melihat pemuda itu tidak lagi bermain musik, aku mencopot alat di telingaku.
                “Suka gitar?” tanyanya.
“Ya, tapi aku tidak suka suaranya,” jawabku.
                “Mengapa?”
Ia  mulai memetik gitar, mungkin maksudnya ingin menunjukkan padaku betapa merdu suara gitarnya. Tapi karena penyakitku, seketika napasku sesak dan membuatku kehilangan keseimbangan. Aku pun terjatuh ke lantai. Pemuda itu terkejut dan bingung melihatku yang tiba-tiba jatuh.   
                “Ku, kumohon pergi…” kataku sambil mencoba berdiri.
“Hei! Memang ada yang salah?”               
                Brak!
 Aku membanting pintu tepat di depan wajahnya. Aku berjongkok membelakangi pintu, sambil mengingat betapa kasar perlakuanku barusan kepadanya. Sebagai remaja umur 16 tahun, tidak mungkin aku bersosialisasi dengan teman sebaya jika keadaanku seperti ini. Musik adalah pujaan kaum muda. Aku bisa membayangkan teman-teman menatapku jijik kalau mengetahui penyakit langka yang kuderita.
                “Aku tahu ada yang tidak beres. Tapi kurasa kau tidak mungkin membenci gitar.” Katanya dari balik pintu, memecah pikiranku.
Aku tak kunjung menjawab, sehingga membuat suasana menjadi sunyi dan canggung.
                “Aku pasti datang lagi besok. Jadi… sampai ketemu.”
Aku menggenggam erat alat anti bunyi milikku lalu memejamkan mata. Aku memberanikan diri untuk membuka pintu. Aku berkata pelan,
                “Terima kasih…”
Pemuda itu tersenyum, meninggalkan rasa tidak sabar untuk menemuinya lagi esok hari.

...................................bersambung......................................

Tidak ada komentar:

Posting Komentar