"K"
Aku berhenti di suatu persimpangan...
...di tempat yang menurutku terlihat seperti Paris, indah.
Lantainya dilapisi konblok-konblok persegi panjang berwarna krem. Bangunan tua yang
artistik di sekitarnya juga berwarna serupa. Kulihat banyak orang duduk di
sebuah café mungil, sedang menikmati secangkir kopi panas dan croissant.
Tiba-tiba
muncul suatu perasaan cemas yang sudah sangat familiar. Aku melihat dua orang
pemusik jalanan memainkan biola mereka. Orang-orang terlihat menikmatinya,
tetapi aku tidak. Aku langsung menutup telingaku dengan kedua tangan, lalu
berlari kencang, berusaha menjauhi sumber bunyi itu. Tetapi semakin lama bunyi
biola itu semakin keras, ia berubah menjadi kegelapan misterius yang berusaha
menangkapku dengan jari-jarinya. Ia berhasil mencengkram kakiku lalu mencoba
menyeretku. Aku berusaha bertahan dengan mencakar lantai. Tetapi akhirnya aku
tidak kuat lagi sehingga peganganku lepas. Rasanya seperti jatuh dari tempat
tinggi, berpasrah diri ditarik gravitasi. Langit menjadi sangat gelap, aku
masih tak tahu apa yang menyeretku dan hanya bisa berteriak,
“Aaaaaaaaaaaaaaa!!”
Lalu aku terbangun.
Dengan napas terengah-engah dan mata berair, aku buru-buru menarik
selimutku sampai leher.
“Mimpi
buruk lagi ya, Sayang?” tanya Mama cemas sambil mengelus kepalaku.
“Mu, musik….” Jawabku tak berdaya. “Biola…”
“Iya
Mama mengerti. Tenang saja, itu hanya mimpi.”
Aku mengangguk pelan. Mama menghela napas lalu memberiku
segelas air. Mama sudah terbiasa dengan kondisiku yang seperti ini.
Aku sudah
tiga tahun menderita Melophobia. Itu
adalah suatu penyakit yang membuatku memiliki perasaan takut terhadap suara
dari alat musik seperti piano, biola, dan lain-lain.
“Mama
pergi dulu ya, Nita. Jaga diri.” Kata Mama sambil menutup pintu kamar.
Hufft, saat seperti ini sangat membosankan. Setiap hari aku
harus berdiam diri di kamar sampai Mama pulang kerja. Tidak boleh jalan-jalan
atau menonton televisi, karena pasti banyak suara alat musik yang terdengar di
jalanan dan di acara televisi. Handphoneku juga disetel dalam mode silent, tanpa game dan tentu saja tak ada satupun lagu di dalamnya. Aku
memutuskan untuk kembali tidur, lebih baik menghadapi mimpi buruk dibanding dunia
nyata yang menyiksaku pelan-pelan.
Baru
beberapa menit terlelap, aku tersentak. Barusan aku mendengar suara petikan
gitar. Dengan cekatan aku mengambil sebuah alat dan memasangkannya di telingaku.
Alat itu berfungsi agar aku tidak bisa mendengar suara di sekitarku. Aku
menengok dari jendela, melihat seorang pemuda bermain gitar di depan rumah.
Aku
turun ke lantai satu untuk memberikan receh ke pemuda itu. Tetapi saat aku sudah
sampai di depan pintu, aku mematung. Gerakan tangan pemuda itu, dan mulutnya
yang melantunkan senandung merdu—yang meskipun aku tidak dapat mendengarnya,
tapi terlihat—begitu indah. Lamunanku terhenti saat pemuda itu menatapku heran.
Aku malu dan langsung menyodorkan dua koin lima ratusan kepadanya. Saat aku
berniat kembali masuk ke rumah, ia menepuk pundakku pelan. Melihat pemuda itu
tidak lagi bermain musik, aku mencopot alat di telingaku.
“Suka
gitar?” tanyanya.
“Ya, tapi aku tidak suka suaranya,” jawabku.
“Mengapa?”
Ia mulai memetik
gitar, mungkin maksudnya ingin menunjukkan padaku betapa merdu suara gitarnya.
Tapi karena penyakitku, seketika napasku sesak dan membuatku kehilangan
keseimbangan. Aku pun terjatuh ke lantai. Pemuda itu terkejut dan bingung melihatku
yang tiba-tiba jatuh.
“Ku, kumohon
pergi…” kataku sambil mencoba berdiri.
“Hei! Memang ada yang salah?”
Brak!
Aku membanting pintu
tepat di depan wajahnya. Aku berjongkok membelakangi pintu, sambil mengingat
betapa kasar perlakuanku barusan kepadanya. Sebagai remaja umur 16 tahun, tidak
mungkin aku bersosialisasi dengan teman sebaya jika keadaanku seperti ini.
Musik adalah pujaan kaum muda. Aku bisa membayangkan teman-teman menatapku
jijik kalau mengetahui penyakit langka yang kuderita.
“Aku
tahu ada yang tidak beres. Tapi kurasa kau tidak mungkin membenci gitar.” Katanya
dari balik pintu, memecah pikiranku.
Aku tak kunjung menjawab, sehingga membuat suasana menjadi
sunyi dan canggung.
“Aku pasti
datang lagi besok. Jadi… sampai ketemu.”
Aku menggenggam erat alat anti bunyi milikku lalu memejamkan
mata. Aku memberanikan diri untuk membuka pintu. Aku berkata pelan,
“Terima
kasih…”
Pemuda itu tersenyum, meninggalkan rasa tidak sabar untuk
menemuinya lagi esok hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar